Saturday, May 30, 2015

Pengalaman Ku Menemani Wanita Kesepian

ccerita bokep

Ketika itu usiaku 25 tahun dan aku bekerja di sebuah perusahaan asing yang beroperasi di luar Jakarta selama 24 jam sehari, sehingga ada bagian tertentu di kantor pusat yang bertugas dalam 3 shift untuk memonitor kegiatan operasi di lapangan dan aku adalah salah satu pegawainya.
Pada suatu hari ketika sedang tugas malam, aku menerima telepon nyasar sampai 3 kali dari seorang wanita. Akhirnya karena jengkel, timbul keinginanku untuk iseng-iseng menggodanya serta mengajak berkenalan yang ternyata ditanggapinya dengan antusias sampai tidak terasa kami mengobrol selama 1,5 jam di telepon.
Wanita itu memperkenalkan namanya sebagai Lisna (aku memanggilnya Mbak Lis), berusia 34 tahun dan telah bersuami serta mempunyai 3 orang anak. Suaminya seorang pejabat di sebuah instansi pemerintah berusia 48 tahun yang menikahi Mbak Lis ketika dia berusia 18 tahun dan baru lulus SLTA. Anak pertamanya perempuan berusia 15 tahun.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi merasa jenuh dan sepi bila sedang tugas malam karena Mbak Lis sering meneleponku walau hanya sekadar untuk mengobrol saja. Menurut pengakuannya, Mbak Lis merasa kesepian karena sering ditinggal suaminya bertugas ke luar kota dan dia mengetahui suaminya punya simpanan di luar.
Sebagai orang dewasa, pembicaraan kami juga sering menyerempet hal-hal yang agak miring. Kalau sudah begitu, biasanya nada bicara Mbak Lis berubah menjadi sedikit berbisik berat seperti orang bangun tidur sementara aku enjoy dengan kesendirianku di ruang kantor yang dingin ber-AC.
Tak terasa tiga bulan sudah kami bertelepon ria tanpa pernah bertemu muka dan selama itu selalu dia yang meneleponku ke kantor ataupun ke rumah karena aku tidak pernah diberi nomor teleponnya (katanya dia takut ketahuan suaminya).
Suatu siang Mbak Lis menelepon ke rumahku dan mengajakku nonton film, mulanya aku ragu karena merasa belum siap untuk bertemu. Aku berdalih bahwa badanku masih letih karena habis tugas malam, tetapi Mbak Lis tetap memaksa dan meminta bertemu sorenya supaya aku bisa istirahat dulu. Aku lalu menyanggupinya karena tidak mau mengecewakan dia.
Jam 14:30 sehabis mandi, Mbak Lis meneleponku lagi dan kami janjian untuk bertemu di sebuah bioskop dengan tidak lupa memberitahukan ciri masing-masing. Sesampainya di bioskop aku sempat dibuat kesal karena tidak kujumpai wanita dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Mbak Lis, wah jangan-jangan dia mau ngerjain aku nih.
Setelah hampir 1 jam menunggu, tiba-tiba aku merasakan sebuah tepukan ringan di punggungku. Dan ketika aku berbalik, tampak Mbak Lis sudah berdiri di belakangku dengan senyumnya yang membuatku terpana.
“Bayu ya?” sapanya sambil mengulurkan tangan.
“Ya, mm.. Mbak Lis..?” aku balas bertanya agak tergagap sambil menyambut tangannya. Ah, betapa halus dan lembutnya tangan itu.
“Maaf ya terlambat, soalnya macet sih..” katanya kemudian.
“Nggak apa-apa kok Mbak, saya juga belum terlalu lama menunggu”, jawabku berbohong sambil mataku tak lepas menatapnya. Rasa kesalku segera hilang setelah melihat Mbak Lis yang tampak anggun itu.
Sosok tubuh Mbak Lis sedang-sedang saja, tingginya 158 cm, berat sekitar 45 kg, kulitnya kuning halus dan rambut hitam bergelombang sebahu. Wajahnya ayu memancarkan kelembutan seorang ibu dan kalau berbicara ramah sekali dengan selalu diiringi senyum yang tak pernah lepas dari bibir mungilnya yang tipis.
Dia tampak begitu anggun (dan seksi) dengan setelan blus ketat sutra hijau muda berlengan pendek dan celana panjang katun hijau lumut yang menampakkan bulu-bulu halus di tangannya dan lekuk tubuhnya yang sintal. Aku rasanya seperti kehilangan kata-kata untuk berbicara, sampai akhirnya Mbak Lis yang memulai lagi.
“Kita makan dulu yuk, kamu pasti belum makan. Kebetulan di dekat sini ada restoran ayam bakar yang enak lho”, ajaknya sambil menggandeng tanganku.
Kami makan dengan santai sambil berbincang-bincang disertai gurauan yang kadang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Kulihat Mbak Lis sudah bisa berbicara lebih lepas sehingga suasana kakupun berangsur-angsur hilang.
Sehabis makan kami kembali ke gedung bioskop dan setelah membeli tiket kami menyempatkan waktu untuk melihat gambar-gambar film yang ada di lobby bioskop sambil tetap bergandengan tangan. Tapi kali ini Mbak Lis lebih merapatkan tubuhnya ke tubuhku dengan cara memeluk lenganku bahkan terkadang dia bersikap lebih berani dengan memeluk pinggangku, secara refleks aku pun membalas dengan merangkul bahunya atau memeluk pinggulnya.
Sentuhan bagian depan tubuh Mbak Lis membuat naluri kejantananku tergugah, apalagi ketika kulihat kancing paling atas blus yang dikenakannya sudah terbuka (aku tidak tahu kapan dia membukanya). Tampak belahan sepasang bukit yang mulus mengintip dari balik BH-nya membuat darahku berdesir dan tatapan mataku seakan tak mau lepas darinya.
Ketika pengumuman tanda dimulainya jam pertunjukan terdengar, kami pun memasuki gedung bioskop untuk mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomor kursi yang tertera di tiket (sengaja aku memilih tempat duduk di deret paling belakang). Mbak Lis duduk di sebelah kananku sambil tangan kirinya menggenggam dan sesekali meremas tangan kananku.
Tak lama kemudian lampu bioskop dipadamkan dan film dimulai, kami nonton dalam keadaan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kira-kira 10 menit berlalu, Mbak Lis menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangan kanannya menarik tanganku ke wajahnya. Diusapkannya jari-jariku ke pipinya, ke telinganya lalu ke bibirnya sambil memberikan kecupan ringan di setiap jari-jariku.
Ketika aku sedang menatap wajahnya yang tertunduk menciumi jari-jariku, Mbak Lis menengadah dan balas menatapku. Mata kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat, kemudian kuberanikan tanganku mengangkat dagunya dan mencium bibirnya yang tipis. Mbak Lis diam saja, tidak menolak dan juga tidak membalas ciumanku, bibirnya masih terkatup rapat. Aku jadi penasaran dan semakin nekat, kukecup lagi bibirnya dengan sekali-kali mengulumnya.
Akhirnya Mbak Lis bereaksi juga, bibirnya terkuak sedikit dan dia membalas ciumanku, lama sekali kami berciuman sampai kemudian Mbak Lis menghentikannya sambil mendesahkan namaku serta meremas dan menarik kembali tanganku ke bibirnya. Tapi kali ini Mbak Lis tidak hanya menciumi jari-jariku, dia juga mulai memasukkan jariku ke dalam mulutnya dan mengulumnya dengan disertai jilatan-jilatan halus dan gigitan nakal.
“Mbak jadi gemas, Bay”, bisiknya.
“Mbak yang bikin gemas”, bisikku sambil mengecup daun telinganya. Mbak Lis menggelinjang kegelian, membuatku semakin bergairah menciumi daerah sensitif di sekitar telinga dan lehernya itu.
“Aaahh Bayu..” Mbak Lis mendesah lagi.
“Kamu bandel..”
“Tapi suka kan..?” kataku sambil merengkuh wajahnya dan mendaratkan ciuman di bibirnya.
Kali ini Mbak Lis membalas ciumanku dengan bergairah sambil memainkan lidahnya di dalam mulutku, sehingga lidah kami saling berpagutan. Tangan Mbak Lis mulai meremas dadaku. Aku pun tak mau kalah, kuusapkan tangan kiriku pada daerah-daerah sensitif di telinganya, lehernya dan terus turun sampai ke dadanya lalu menyusup ke dalam blusnya.
“Hmm..” terdengar Mbak Lis menggumam dalam kuluman bibirku.
“Ouuhh.. uuhh..” desahnya sambil tangannya mencengkeram leher bajuku ketika kuremas dadanya dan kuraba puting susunya dari balik BH.
“Masukin tangannya, sayang..” kata Mbak Lis sambil membuka satu lagi kancing blusnya.
Kusingkap BH-nya dan kurogoh dadanya yang kenyal, sementara tangan kanan Mbak Lis mulai merambat turun ke perutku dan turun terus sampai ke selangkanganku. Diremas-remasnya batang kemaluanku yang sudah tegang dari luar celana sambil mengerang dan mendesah sementara bibir kami terus berciuman dan mengulum lidah. Kupilin puting susu Mbak Lis dengan jari-jariku sambil meremas dadanya. Ooh.. ingin sekali rasanya aku menciumi dada itu serta menghisap dan menjilati putingnya. Tangan Mbak Lis pun makin bergairah mengusap dan meremas selangkanganku.
“Buka dong Bay..” desah Mbak Lis sambil berusaha untuk membuka zipper celanaku. Kulepaskan pelukanku untuk membantunya membuka kait ikat pinggangku, lalu dengan sigap Mbak Lis memasukkan tangannya ke dalam celanaku dan melanjutkan meremas batang kemaluanku yang masih tertutup celana dalam. Sesekali tangannya merogoh lebih dalam untuk meremas biji-biji kemaluanku. Uuhh.. nikmatnya.
Mbak Lis lalu menyandarkan kepalanya di dadaku, disingkapnya celana dalamku ke bawah sehingga batang kemaluanku kini terbebas dan mengacung seutuhnya seakan memperlihatkan kesiagaannya. Kurasakan kehangatan tangan Mbak Lis ketika mencengkeram batang kemaluanku, meremasnya dan mengusap-usapkan ibu jarinya pada kepala batang kemaluanku, membuatku mendesis menahan rasa geli yang mengalirkan nikmat di sekujur tubuhku.
“Hmm..” kudengar Mbak Lis beberapa kali menggumam sambil memperhatikan dan mengurut batang kemaluanku yang berkedut-kedut dalam genggamannya. Kurasakan kepala Mbak Lis yang pelan-pelan bergerak turun untuk menghampiri batang kemaluanku, rupanya Mbak Lis sudah tidak dapat menahan keinginannya untuk memenuhi ajakan batang kemaluanku yang tegak menantangnya. “Jangan Mbak..” bisikku sambil menahan gerakan turun kepala Mbak Lis karena kusadari situasi di dalam bioskop tidak memungkinkan kami untuk lebih dari sekedar melakukan pekerjaan tangan. Mbak Lis lalu menengadahkan wajahnya menatapku.
“Bayu.. please..” Mbak Lis mendesah meminta persetujuanku dengan tatapan mata sayu sambil tangannya terus mengurut kejantananku.
“Jangan Mbak.. dikocok saja..” balasku sambil menaikkan kaki ke sandaran kursi di depanku yang kebetulan kosong untuk memudahkan Mbak Lis meng-eksploitasi batang kemaluanku.
Kurengkuh wajah Mbak Lis dengan tangan kiriku dan kucium bibirnya yang merekah di hadapanku sementara tangan kananku memeluk bahunya. Kami berciuman lama sekali dengan saling memilin lidah di dalam mulut. Kurasakan tangan Mbak Lis semakin intens meremas dan mengocok batang kemaluanku, sementara mulutnya sesekali menggumam dalam pagutanku ketika dirasakannya tanganku mengelus daerah sensitif di belakang telinganya.
Tangan kiriku kini sibuk membuka kancing blus yang dikenakan Mbak Lis dan menyusup ke dalamnya, meremas dadanya yang kenyal serta mempermainkan puting susunya dengan jari-jariku. Mbak Lis merubah posisi duduknya dengan bersandar di dadaku dan memindahkan kendali atas batang kemaluanku ke tangan kirinya. Didekapkannya kedua tanganku di dadanya sehingga aku lebih leluasa meremas kedua dadanya yang kini telah terbuka karena BH-nya telah kusingkapkan ke atas serta memilin kedua puting susunya yang telah mengeras.
“Aaahh.. oouuhh..” Mbak Lis medesah dan kemudian kulihat tangan kanannya bergerak ke bawah menggosok-gosok selangkangannya dan tangan kirinya semakin keras mencengkeram batang kemaluanku sambil mengusap kepala kejantananku dengan ibu jarinya.
Kurasakan aliran darah di selangkanganku bertambah cepat dan deras, menimbulkan sensasi kenikmatan yang tak terbayangkan.
“Mbak nggak tahan, Bayu..” desahnya sambil menarik satu tanganku ke mulutnya dan kemudian menjilati dan mengulum jariku dengan penuh nafsu.
Akhirnya puncak sensasi itu datang juga ketika kurasakan kawah di selangkanganku menggelegar ingin memuntahkan laharnya. Kutarik tanganku dari dada Mbak Lis dan kucengkeram tangannya yang sedang mengocok batang kemaluanku. Serasa tak sabar, kubantu Mbak Lis mengocok batang kemaluanku lebih kencang. Dan akhirnya.. “Ooouuhh..” aku mendesah tertahan ketika kurasakan batang kemaluanku mengejang kemudian berkedut-kedut memuntahkan cairan kenikmatan yang menyemprot berkali-kali membasahi tangan kami.
“Ooouuhh.. enak sekali Mbak..” kataku sambil melepaskan nafas panjang ketika kurasakan puncak kenikmatanku mereda, batang kemaluanku telah berhenti memuntahkan cairannya dan tinggal menyisakan lelehannya yang kemudian diratakan oleh Mbak Lis dengan jari telunjuk ke seluruh permukaan kepala batang kemaluanku.
Tanpa mengucapkan kata-kata, Mbak Lis sejenak beralih dari pelukanku untuk mengambil tissue dari dalam tasnya. Kemudian sambil kembali bersandar di lenganku, dengan telaten disekanya batang kemaluanku mulai dari kepala sampai ke batang dan pangkalnya. Ah, sejuk sekali kurasakan usapannya. Lalu dilanjutkannya menyeka tanganku dan tangannya sendiri yang terkena semprotan spermaku dengan lembar tissue lainnya.
Mbak Lis lalu mengecup bibirku dengan mesra, tidak kurasakan birahi di kecupannya yang begitu lembut. Seakan telah terlupakan terpaan hawa nafsu yang baru kami alami bersama. Aku kagum padanya, begitu cepat Mbak Lis menetralisir emosinya. Kami lama terdiam sambil berpelukan setelah sama-sama merapikan pakaian yang acak-acakan.
Ketika film berakhir dan lampu bioskop telah dinyalakan, kami saling berpandangan seakan tidak percaya dengan apa yang baru dilakukan. Segera kami berdiri dan bersiap untuk meninggalkan gedung bioskop, sampai kemudian Mbak Lis menahanku dan memandang geli ke arahku.
“Kamu seperti ngompol..” katanya sambil tertawa kecil dan menunjuk celanaku. Dengan penasaran aku menunduk dan ketika menyadari apa yang ditunjuk oleh Mbak Lis, aku pun tersenyum kecut menahan geli dan malu. Ternyata semburan spermaku begitu kuat sehingga ada yang kesasar keluar dan meninggalkan noda basah di celanaku.
“Mbak sih.. sudah ah, nggak usah dibahas”, kataku sambil mencubit pinggang Mbak Lis dan mendorongnya perlahan keluar bioskop.
“Mbak antar kamu pulang ya?” kata Mbak Lis sesampainya kami di luar bioskop.
“Nggak usah Mbak, saya mau langsung ke kantor saja”, balasku.
“Kalau begitu Mbak antar kamu ke kantor boleh kan, please..” desak Mbak Lis. Aku tak dapat menolak dan hanya mengangguk, Mbak Lis lalu menyerahkan kunci mobil dan memintaku untuk mengemudikan mobilnya.
Di dalam mobil kami tidak banyak berbicara, seakan terlarut dalam perasaan masing-masing. Mbak Lis menyandarkan kepalanya di bahuku sambil memeluk dan mengelus-elus lenganku. Tak terasa kami telah memasuki halaman gedung kantorku. Sebelum aku meninggalkan mobil, Mbak Lis kembali mencium mesra bibirku.
“Maaf Bayu, jangan kapok ya?” kata Mbak Lis sambil mengelus pipiku.
“Apanya yang kapok?” balasku sambil mengedipkan mata dan perlahan-lahan keluar dari mobil.
“Kamu bandel..” kata Mbak Lis mencubit lenganku.
“Nanti malam Mbak temanin ya?” Mbak Lis menyambung sambil menarik bajuku dan kami pun kembali berciuman di jendela mobil.

Itulah kisah perkenalanku dengan Mbak Lis yang juga merupakan awal dari affair-ku dengannya yang kemudian berlangsung lebih seru dan lebih panas.

Bagiku Dia Seorang Mafia Sex

cerita dewasa

Nama saya, sebut saja Ivon, saya tinggal dan bekerja di London, Inggris, di bagian administrasi sebuah perusahaan trading. Waktu itu, saya berusia 28 tahun, tinggi/berat 164 cm/41 kg, dan bentuk badan saya biasa saja, cenderung agak langsing dan tidak bertonjolan di dada dan pinggul.

Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor untuk menyelesaikan sisa-sisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim panas selama kurang lebih 2 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar. Beberapa yang berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab dengan senyum manis dan jawaban pendek “You too!” di sela-sela kesibukan saya menghadap ke layar monitor.
Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di kantor kecil itu hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor, sebut saja namanya Pak Smith. Agak lama kemudian, saya mendengar ribut-ribut di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan banyak lagi. agen poker
Saya merasa agak takut dan mengintip dari jendela ke arah jalanan di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti segerombolan preman kasar pegawai perusahaan Italia yang menagih uang keamanan. Benar-benar menjengkelkan sekali, karena penyebab ketidakamanan itu adalah mereka sendiri. Tapi jika kantor-kantor kecil seperti kantor saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan hal-hal yang diluar perikemanusiaan.
Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk mengintip apa yang terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Smith sedang menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di hadapannya, tampak dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam legam dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah ganteng khas Italia, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan memasukkan tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya. Namun ada seseorang lagi bersama dua orang centeng itu.
Seorang wanita berkebangsaan Asia yang kurus tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia cantik di balik kaca mata biru yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Smith sambil berkacak pinggang itu benar-benar menyebalkan dan menakutkan.
“Ivon! Tolong ambilkan dua puluh pound dari ruanganmu!” tiba-tiba Pak Smith memekik karena uang yang harus dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya berlari ke kantor saya, mengambil dua puluh pound dari laci, lalu berlari kembali menuruni tangga.
“Berikan langsung pada mereka!” ujar Pak Smith yang masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan dua lembar sepuluh pound itu ke arah mereka, dan si wanita Asia langsung menyambarnya dari tangan saya.
Entah kenapa, tapi wanita itu tidak segera mengalihkan pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata birunya. Mungkin karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus menatap saya. Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil melangkah mundur perlahan.
“Jangan mundur!” bentak wanita itu dengan dialek British yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat saya menundukkan pandangan karena gemetar.
“Lihat ke arah saya!” bentaknya lagi, masih dengan bahasa Inggris beraksen British yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak lagi setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya dan berkata, “Ivon. Hmm, Indonesian name, isn’t it?” tanyanya lagi, dengan nada datar.
“Y-Yes, It is.” jawab saya agak terbata-bata, khawatir kalau-kalau ia menyakiti saya.
Pak Smith juga tak kuasa melakukan apa-apa untuk menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu memperhatikannya terus.
“Kalau gitu, diskon sepuluh pound deh!” ujar wanita Asia itu, benar-benar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya lembaran sepuluh pound yang tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.
Wanita itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, “Maaf Ivon, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri.”
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode mengajak pergi. Pak Smith dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga manusia sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras. Sejenak sebelum menutup pintu, si wanita sempat melirik ke arah saya dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu isyarat yang saya tidak pernah mengerti.
Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan tiba, dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Saya pergi ke Paris bersama keluarga saya selama seminggu, lalu kembali ke London untuk menghabiskan sisa liburan di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang ini seperti membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.
Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Indonesia mengunjungi museum Madame Tussaud. Usai melihat-lihat patung lilin di museum itu, tante dan om saya naik kereta kembali ke hotel mereka, sementara saya masih berjalan-jalan di Bakerstreet (tempat museum tadi berada), karena banyak teman asal Indoneisa yang menginap di apartemen-apartemen sekitar situ.
Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar, saya merasa ada yang berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidak terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia juga mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tiba-tiba ia mencolek bahu saya, “Hi Ivon, lupa sama saya ya?” sapanya dengan bahasa Indonesia.
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Wanita Asia yang kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia memegangi lengan saya.
“Hey, jangan kabur dong!” ujarnya ramah, meski mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe pinggir jalan.
Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalau-kalau dia ditemani dua orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil tertawa-tawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.
Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Lambat laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan. Maklum, di negeri orang, siapapun yang sebangsa dengan kita akan menjadi sahabat yang sangat baik, siapapun dia.
Namanya, sebut saja Jenny. Ia menceritakan sejarah kedatangannya ke Inggris untuk menyelesaikan S2-nya, juga tentang keterlibatannya dengan para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan ekonomi. Ia berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum meninggalkan Inggris. Ia bercita-cita untuk pulang ke Indonesia, dan bekerja memanfaatkan gelar MBA-nya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri berbekal pengalaman dan manajemen Italia yang dipelajarinya di lingkungan Mafia ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi keberaniannya menceburkan diri ke lingkaran yang begitu ‘hitam’ dan berbahaya itu.
“Kamu nggak punya boyfriend kan?” tebak Jenny di sela obrolan.
“Kok kamu tahu?” tanya saya balik.
“Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana mungkin dapat pacar?” katanya sambil tertawa kecil.
Saya tersipu malu, menyadari bahwa ‘tongkrongan’ saya memang terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara. Beda dengan Jenny yang tampaknya ceplas-ceplos dan tidak kenal takut atau malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dengan sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru saja dikenalnya. Diam-diam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan seorang ‘putri mafia’ (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.
Tanpa terasa hari mulai malam, dan Jenny mengajak saya meninggalkan kafe. Karena apartemen saya agak jauh, ia menyarankan saya untuk tinggal di apartemennya. Saya menurut saja karena sudah terlanjur percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalan-jalan yang saya belum pernah lewati, daerah-daerah lampu merah, daerah kumuh, dan daerah pusat hiburan malam. Benar-benar sisi lain dari London yang tidak pernah saya lihat, meski saya sudah menetap disini selama 3 tahun.
“Nggak usah takut, Von.” katanya sambil melangkah cepat, “Kita aman di daerah sini.”
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya melihat pria-pria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba. Wanita-wanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang saya tidak tahu namanya itu. Namun Jenny berjalan dengan cuek, sambil sesekali menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran, orang macam apa sebenarnya teman saya ini.
Akhirnya kami sampai di apartemennya. Sebuah apartemen yang dari luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke kamarnya, semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata rapih dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat laptop, juga ponsel (yang pada tahun itu belum begitu populer). Satu hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil berwarna perak tergeletak di samping ponselnya.
Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu membuatkan saya segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal. Ketika saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu diambilnya dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih, Jenny menanggalkan celana panjang dan raincoat-nya. Sambil hanya mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di situ. Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolah-olah sudah sangat akrab dengan saya. Diam-diam saya iri melihat tubuhnya yang ramping dan cukup jangkung untuk ukuran Indo, sangat menarik. Saya kira tidak akan ada pria ataupun wanita yang tidak mencuri pandang ke arahnya saat berada di tempat umum.
“Ngeliatin apa, Von?” tanyanya membuat saya tersipu.
“Ngeliatin badan kamu.” jawab saya mencoba untuk tidak malu, “Bagus banget.”
“Hihihi.” ia tertawa kecil, “Kamu juga sexy kok.”
Terus terang, saya kege-eran juga mendengar pujiannya. Apalagi setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalam-dalam sambil menyunggingkan senyum aneh.
Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Dengan was-was saya melirik ke arah buffet tempat pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih ada di situ. Tiba-tiba dia sudah ada di hadapan saya.
“Mana gelasnya?” bisiknya sambil meraih cangkir dari tangan saya dan meletakkannya di karpet.
“Kamu manis sekali, Von.” bisiknya lagi, sambil melepaskan kacamata saya yang minus tujuh.
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.
Mula-mula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Jenny adalah seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena dipeluk sesama wanita. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di kuping kiri, “Jangan takut, Von. Nikmati saja.”
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.
Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya yang terletak di bagian belakang, sampai punggung saya benar-benar terbuka di hadapannya. Dengan lembut juga ia melepaskan kaitan BH di punggung saya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus punggung saya. Hangat dan lembut.
“Punggung kamu halus sekali, Von.” bisiknya, “Pasti kamu rawat dengan baik, ya? Hmm?”
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus dan panjang sebahu, disibakkannya ke samping, lalu lagi-lagi ia memuji saya, “Tengkuk kamu bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?”
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi leher dan tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya belum pernah sekalipun berpacaran.
Ciumannya menjalar kemana-mana, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai meraba-raba ke balik baju saya, mengelus-elus perut saya, sambil mulutnya terus membisikkan kata-kata indah memuji keindahan tubuh saya. Kata-katanya membuat perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya minder dengan tubuh saya yang kurus.
Lidahnya menjilat-jilat punggung saya, tengkuk saya, dan bahu saya. Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil. Hal itu membuat Jenny makin bersemangat. Ia melucuti baju dan BH saya hingga tubuh bagian atas saya benar-benar telanjang. Ia menyuruh saya berdiri dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa agak gila.
Di bawah sinar lampu yang terang benderang, saya berdiri setengah telanjang di hadapan seorang wanita yang baru saja saya kenal tadi siang. Wanita mafia pula! Namun entah kenapa, saya menikmati permainannya, saya menikmati tatapannya yang lekat ke sekujur tubuh saya. Bola matanya tampak tajam menatap dua buah dada saya. Seharusnya saya merasa malu, namun saya malah menegakkan tubuh, membusungkan dada, hingga Jenny bebas menikmati keindahan dua susu saya yang berwarna lebih terang dibandingkan tubuh saya yang sawomatang, lengkap dengan dua putingnya yang coklat tua.
Jenny terbaring miring di ranjangnya dengan pose yang amat merangsang. Garis pinggulnya tampak begitu indah, pahanya yang mulus dan putih bersih begitu panjang dan menggoda. Kaosnya oblongnya agak tersingkap ke atas, membuat perutnya yang indah mengintip nakal. Celana dalam yang dipakainya pun hitam transparan menunjukkan rambut-rambut halus di selangkangannya. Matanya meredup dan bibir basahnya berbisik agar saya kembali naik ke ranjang.
“Kamu cantik sekali Von.” bisiknya lagi saat saya menelentangkan diri di ranjang.
“Kamu juga, Jen.” saya sudah mulai berani menjawab.
Ia lalu mendekatkan wajahnya, lalu mulut-mulut kami berciuman dengan mesra. Saat itulah saya pertama kali berciuman, merasakan lidahnya masuk ke mulut saya, menjilat dan menghisap-hisap bibir bawah saya, mm, nyaman sekali.
Bibirnya lalu melepaskan bibir saya dan beranjak menuruni rahang dan leher saya. Lidahnya yang hangat berputar-putar di pangkal susu saya, membuat saya kegelian. Tangan saya membelai-belai rambutnya yang lurus dan pendek seleher.
Entah kenapa, tapi saya merasakan hal yang berbeda. Saya merasa dikagumi, diperhatikan, dan dicintai. Sebuah perasaan yang tidak pernah saya dapatkan dari siapapun kecuali orang tua saya. Namun kali ini rasanya benar-benar lain.
“Von, susu kamu indah sekali.” bisiknya dengan suara setengah merintih.
“Ciumin dong Jen.” pinta saya tidak sabar.
“Haa, kamu udah pengen ya?” godanya.
“Kok tau sih?” jawab saya kembali menggoda.
“Pentil kamu udah tegang gini.” jawabnya cuek sambil menatap ke dua puting susu saya.
Saya mengangkat kepala untuk melihat ke susu saya, dan benar, kedua puting ini tampak berdiri meruncing. Saya tersipu malu. Namun Jenny segera menangkap puting susu saya dengan mulutnya.
“Engghh..” saya langsung mengerang sambil menggelinjang ketika puting susu saya dihisapnya.
Saya mendongakkan kepala, merem melek dan mengerang-ngerang. Aduhh, puting susu saya rasanya begitu nikmat. Saya tidak tahu apa yang Jenny lakukan, namun kedua puting saya tidak henti merasakan belaian lembut dan hisapan-hisapan halus. Rasa nikmatnya mengalir ke seluruh badan sampai rasanya seperti lemas dan pasrah padanya. Ohh, benar-benar mabuk kepayang. Betapa tidak, rasanya nikmaat sekali. (Mengetikkan cerita ini saja membuat dua puting susu saya terangsang lagi mengingat rasanya).
Entah berapa lama Jenny memainkan susu saya, tapi rasanya seperti bertahun-tahun terperangkap dalam rasa nikmat. Sampai-sampai vagina saya terasa gatal dan mengeluarkan cairannya. Padahal hanya susu saya saja yang dimainkannya. Aduhh, Jenny benar-benar mengerti bagaimana menaklukkan seorang wanita innocent seperti saya ini. Ia terus mengulum, menjilat, dan menghisap, dan entah ngapain lagi di kedua puting saya ini, yang jelas saya begitu menikmatinya. Sampai saya mencengkeram tengkuknya agar mulutnya tidak lari dari puting saya. Mata saya ‘kiar-kier’ menahan nikmat, mulut saya terus mengerang-ngerang keenakan.
“Uhh, Ohh.. Ahh.. Jennyy.. Aduhh.. enaknyaa.. Ohh..”
Jenny seperti tidak perduli, ia terus saja membuat kedua puting ini merasakan rangsangan luar biasa. Badan saya menggelinjang-gelinjang hebat, punggung saya terangkat-angkat dari ranjang karena tidak kuat menahan enaknya permainan ini. Tiba-tiba Jenny berhenti. Saya terengah-engah lemas, dua susu saya terasa menyesak dan berat.
“Von.. Oi, buka mata kamu, Von..!” ujar Jenny sambil masih memilin-milin puting saya.
Saya membuka mata dan susah payah mengangkat kepala melihat ke arah dada saya. Astaga! Puting-puting saya yang selama ini coklat tua, kini jadi berwarna merah daging, dan begitu besar. Tidak pernah saya melihat puting saya sendiri berdiri begitu tingginya. Dua susu saya pun terasa agak membengkak.
“Ohh, Jenny.. kamu apain susuku..?” desah saya naif.
“Belum pernah ya?” bisiknya menggoda, “Tapi enak kan?”
Saya mengangguk lemah sambil berusaha tersenyum. Tangan saya meraih susunya dari balik kaos, tapi ia menepiskannya.
“Eits, mau balas dendam ya? Nggak boleh!” godanya nakal.
God, saya merasa jatuh cinta padanya, pada kenakalannya, pada kedewasaannya.
Tanpa banyak bicara, Jenny lalu melucuti celana dan celana dalam saya. Sudah tidak ada lagi rasa takut, malu, atau risih di hadapannya, malah saya merasa tidak sabar menanti permainan berikutnya. Dilemparkannya celana panjang saya jauh-jauh. Lalu ia menciumi paha saya.
“Wow, paha kamu halus banget! Aku jadi iri!” ujarnya sambil menciumi.
Saya agak malu, karena paha dan kakinya jelas-jelas lebih panjang dan lebih indah.
“Kangkangin dong, aku pengen lihat lebih jauh!” katanya lagi.
Saya mengangkangkan paha saya lebar-lebar, membiarkannya melihat jelas-jelas kemaluan saya. Saya agak heran melihatnya menggeleng-gelengkan wajah cantiknya sambil menatap kemaluan saya.
“Kenapa, Jen?” tanya saya ragu.
“Aghh..” saya terhenyak sedikit ketika ia mencolek kemaluan saya.
“Lihat nih!” Jenny menunjukkan jarinya yang dibasahi oleh lendir kental bening, banyak sekali, “Kamu udah terangsang banget ya, Von?”
“Gimana nggak terangsang?” tanya saya balik, “Abis kamu gituin sih.”
Jenny tersenyum sekilas, lalu membenamkan wajahnya di selangkangan saya. Dan saat itulah saya merasakan hal terindah dalam hidup saya.
“Ngghh.. Jennyy..” saya memekik keras menyebutkan namanya saat Jenny mulai menggerakkan lidah dan bibirnya di kemaluan saya.
Ohh, saya tidak tahu apa yang dilakukannya di bawah sana, tapi rasanya sungguh nikmat. Saya terhentak-hentak merasakannya, wajah saya meringis keenakan, menggeliat-geliat untuk menahan rasa nikmat yang luar biasa ini. Saya seperti bingung, berusaha meraih dan mencengkeram apapun yang dapat saya raih, sprei, bantal, tiang ranjang, apapun. Sementara mulut Jenny di bawah sana mengeluarkan bunyi berkecipak.
Kemaluan saya terasa seperti digosok keras-keras oleh benda lunak dan lembab, enak sekali. Tiap gesekannya terasa nyetrum ke seluruh badan ini. Kepala saya terangkat-angkat dari ranjang, paha saya menghimpit kepala Jenny. Tiak lama kemudian, Jenny memasukkan jarinya ke lubang kemaluan saya. Uhh, pada saat yang sama, saya mencapai klimaks kenikmatan.
“Aduhh Jennyy.. Oughh..” serasa ada yang menyembur keluar dari kemaluan saya, begitu deras dan nikmat.
Saya sampai meremas sendiri dua susu saya untuk menambah kenikmatan, hingga semuanya sempurna. Lalu saya merasa lemas sekali. Terkulai dan terengah-engah kelelahan. Saya memejamkan mata, menikmati sisa-sisa orgasme pertama yang saya rasakan. Terasa Jenny meninggalkan ranjang, mengecup kening saya, lalu saya tertidur di tengah kenikmatan maha dahsyat ini.
Pagi berikutnya, saya baru terbangun dari tidur panjang saya yang begitu nikmat. Badan terasa segar dan nyaman, meski kedua kaki saya terasa agak pegal. Saya bangkit duduk, dan cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi badan telanjang saya. Betapa tidak, di ruangan itu, Jenny tidak sendiri bersama saya. Wanita itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria berwajah Italia. Bukan salah satu dari centengnya kemarin, tapi seorang pemuda ganteng berkaca mata, dengan dandanan yang rapih.
“Wah, pacarmu sudah bangun rupanya.” ujar si pria Italia saat melihat saya terjaga.
“Ya, dan itu berarti waktumu untuk pergi.” jawab Jenny dengan dialek British yang amat sempurna.
“Oke, aku pergi.” jawab pria Italia itu sambil tersenyum.
“Hey, suatu saat aku ingin bertukar tempat denganmu!” seru pria itu sambil menatap ke arah saya dengan senyuman ramah.
“Kalau aku mau, nanti malam juga bisa!” canda Jenny sambil menepuk bahu pria itu, mengantarkannya keluar kamar.
Aku agak tertegun setengah marah mengetahui Jenny membiarkan orang lain masuk ruangan saat aku masih tertidur dalam kondisi telanjang bulat. Namun aku seperti tidak tega mengutarakan perasaan itu. Aku melihat Jenny membawa nampan berisi sarapan pagi ke dekat ranjang dan mempersilakanku makan. Aku menurut saja, karena memang permainan semalam membuatku kelaparan pagi ini. Jenny berdiri bersandar di dinding sambil melihatku makan.
Pagi itu ia tampak segar dan cantik. Rambutnya yang pendek seleher diikat ke belakang hingga tengkuknya yang jenjang terlihat begitu indah. Ia mengenakan kaos T-Shirt hijau tua dan celana pendek putih, memamerkan kaki-kakinya yang bagus itu. Ia melihatku makan dengan tatapan bahagia. Sejujurnya, aku amat terharu dengan sikap manisnya padaku.
“Von..” ujarnya lirih.
“Kenapa, Jen?”
“Maaf ya, semalam aku kurang ajar sama kamu.” sambungnya, “Maaf juga soalnya aku biarin temanku tadi masuk.”
“Nggak apa-apa Jen.” jawab saya berusaha maklum, “Semalam itu.. indah sekali.”
Jenny tersenyum. Senyum yang ramah, hangat, dan bersahabat. Namun.., hanya itu. Senyuman seorang sahabat, bukannya senyuman mesra seorang kekasih. Melihat senyumnya, saya merasa agak patah hati juga, karena sudah merasa jatuh cinta kepadanya. Saya terdiam, dan tanpa sadar air mata mengalir di pipi saya.
“Aku tahu apa yang ada di hati kamu, Von.” ujar Jenny membaca situasi.
“Tapi aku juga ngerti, kamu nggak mungkin bisa hidup bareng aku.” lanjutnya lagi.
Ia lalu melangkah menghampiri saya dan mengangkat nampan sarapan pagi dari pangkuan saya. Setelah meletakkan nampan itu di meja, ia kembali naik ke ranjang di sisi saya.
“Aku sayang sama kamu, kok!” ujarnya sambil mengecup kening saya, “Itu sebabnya aku nggak ingin kamu terlibat jauh di hidupku.”
Saya memeluknya erat-erat, tanpa tahu harus berkata apa pada seorang yang baru saja ‘memerawani’ saya ini.
“Kamu ngerti maksudku kan?” tanyanya lagi dengan penuh harap.
Semula saya merasa sedih. Saya benar-benar ingin melewatkan hidup saya bersamanya terus. Tidak pernah ada orang yang membuat saya merasa begitu aman, tenang, nyaman, dan membuat saya merasa begitu dicintai dan dikagumi. Hanya dia, Jenny, yang memberikan semuanya pada saya. Namun saya melihat sekeliling, lemari pakaiannya kebetulan terbuka, memamerkan gaun-gaunnya yang mahal dan berwarna warni, sederet sepatu yang menjadi impian tiap wanita, laptop dan ponsel yang menunjukkan tingkat kemapanan hidupnya, lalu.. ah.. pistol keperakan itu.
Bagaimana saya dapat hidup damai dan bermesraan dengan seorang yang berkeliaran di lorong-lorong gelap London dengan menenteng pistol kemana-mana? Yang bergaul dengan preman-preman dan penjahat? Yang dengan entengnya mengobrak-abrik kantor atau toko seseorang karena telat membayar tagihan? Semuanya berkecamuk dalam otak saya.
Namun, hey. Ivon sekarang sudah dewasa! Pikir saya. Sekarang saya lebih percaya diri, dan sadar bahwa hidup ini indah dan tidak menakutkan. Mungkin saya bisa setegar Jenny, atau lebih dari dia? Mungkin juga saya dapat menemukan peluang lain yang membuat hidup saya lebih berarti daripada sekedar karyawan admin di sebuah perusahaan kecil? Rasa cinta dan kagum bercampur dengan haru dan terimakasih berkecamuk di dada saya. Namun saya juga sadar, jika saya harus melanjutkan kehidupan saya tanpa Jenny.
“Hey, cool dong!” hiburnya, “Kita bisa ketemu lagi kapan-kapan kalau kamu mau. Saat liburan kayak gini kan bisa juga?”
Saya mencoba tersenyum nakal. Ia membalas senyuman saya dengan nakal juga. Iseng-iseng saya meraih dan meremas susunya yang kanan, sambil menjentik-jentik putingnya dari balik bajunya. Jenny menatap saya. Pelan-pelan matanya meredup, lalu setengah memejam. Saya melepaskan susunya dari tangan saya.
“Kok berhenti?” tanyanya sambil kembali membuka mata.
“Emang boleh?” tanya saya.
“Kenapa enggak?” tanya Jenny balik sambil melucuti pakaiannya sendiri.
Jenny segera telanjang bulat berdiri di samping ranjang. Indah sekali tubuhnya, kulitnya halus mulus dan putih bersih. Kakinya panjang indah, begitupula lehernya. Wajahnya amat cantik, berkesan cerdas namun dingin. Kedua buah susunya tidak besar, namun kencang dan indah. Puting-putingnya berwarna merah jambu kecoklatan, dan tampak agak terangsang oleh sentuhan saya tadi. Saya duduk di sisi ranjang, wajah saya tepat menghadap ke dua putingnya. Tanpa banyak basa-basi, saya mendekap pinggangnya, dan mengisap puting susunya. Mmm.., puting susu hangat itu terasa lucu dalam mulut saya. Saya jilati, saya hisap-hisap.

Terdengar rintih erangan Jenny setiap kali lidah saya menyentuh puting itu. Terasa sekali puting itu mengencang, membengkak dalam mulut saya. Kami berbagi kehangatan dengan sangat mesra pagi itu, dan kejadian itu sempat terulang beberapa kali lagi di hari-hari setelahnya, sampai kemudian saya mendapati apartemennya kosong dan teleponnya tidak diangkat. Ia benar-benar telah pergi jauh dari kehidupan saya. Mungkinkah ia telah mencapai cita-citanya? Mungkinkah ia sudah berada 2 meter di bawah tanah? Saya tidak tahu. Saya tetap akan mengenangnya, karena dia adalah yang pertama bagi saya.

Aku Digilir Ibuku dan Teman - Temannya

cerita sex

Namaku Bernas dan aku tinggal di Jakarta. Di saat aku menulis cerita ini, aku baru saja menginjak umur 25 tahun. Aku bekerja di sebuah perusahaan marketing ternama di kawasan daerah Kuningan (Jakarta Selatan). Perusahaan kami ini adalah anak dari perusahaan marketing Inggris yang mana Head Office untuk Asia Pasific berada di negeri Singapore. Aku bisa bekerja di perusahaan ini atas bantuan ibu tiriku yang memiliki banyak kolega perusahaan-perusahaan ternama di Jakarta.

Ibu tiriku tergolong orang yang terpandang dan kaya raya. Bekas suaminya adalah pengusaha distributor minyak bumi dalam negeri yang punya akses mudah ke instansi-instansi pemerintah. Ibu tiriku cerai dengan bekas suaminya karena bekas suaminya memiliki banyak ’selir-selir’ di beberapa kota di pulau Jawa dan beberapa lagi di luar pulau Jawa. Karena tidak tahan dengan situasi yang dia hadapi, dia memutuskan untuk bercerai dengan bekas suaminya.
Menurut cerita ibu tiriku, urusan perceraiannya sangatlah rumit, berbelit-belit, dan memakan waktu berbulan-bulan. Seperti biasa
pembagian harta gono-gini yang membuat urusan cerai menjadi lebih panjang. Sampai pada akhirnya hasil dari penceraian tersebut, ibu
tiriku mendapat 30% dari seluruh aset dan kekayaan mantan suaminya. Namun setelah itu, ibu tiriku tidak diperbolehkan lagi untuk meminta jatah lagi kekayaan bekas suaminya setelah penceraiannya final di pengadilan.
Bisa para pembaca membayangkan seberapa besar warisan kekayaan ibu tiriku. Bagaimana dengan keluarga asliku? Ayah bercerai dengan ibu kandungku saat aku masih berumur 7  tahun. Masalah dari penceraian tersebut, aku masih kurang tau sampai sekarang ini. Ayah lebih memilih untuk tidak menceritakan masalah tersebut, dan aku pun tidak pernah lagi bertanya kepadanya. Aku mengerti perasaan ayah, karena saat itu kehidupan ekonomi keluarga masih sangat sulit dan ayah pada saat itu hanya seorang pegawai toko di daerah Mangga Besar. Meskipun hanya pegawai toko biasa, ayah memiliki bakat dan hobi mekanik yang berhubungan dengan mesin motor.
Pendidikan ayah hanya sampai pada tamatan SD, dan dia mendapat ilmu montirnya dari kakek yang dulu sempat bekerja di bengkel reparasi mobil. Ayah selalu memiliki cita-cita untuk membuka bengkel sendiri. Setelah bercerai dengan ibu kandungku, aku dan ayah sering berpindah-pindah rumah kontrak. Ekonomi ayah juga tidak juga membaik. Sering istilah kehidupan kami bak ‘gali lubang tutup
lubang’. Setiap tahun gaji ayah naik hanya sedikit saja, dan kebutuhan ekonomi selalu meningkat.
Namun ayah tidak pernah menyerah untuk berusaha lebih demi menyekolahkan aku. Untungnya aku tergolong anak yang suka sekolah dan belajar, oleh karenanya ayah tidak pernah mengenal lelah mencari uang tambahan agar aku menjadi orang yang berilmu dan mencapai karir indah di masa depanku. Cita-cita ayah membuka bengkel reparasi mobil sendiri bermula dari keisengannya melamar
kerja di bengkel mobil dekat rumah kontrakan kami. Ayah kerja di toko hanya selama 6 hari seminggu bergantian, tapi ayah menetapkan untuk mengambil hari Sabtu libur agar dia bisa bekerja di bengkel mobil tersebut. Karena bakat dan cinta ayah terhadap mesin mobil dan motor, ayah menjadi tukang favorit di bengkel tersebut.
Perlahan-lahan ayah mengurangi hari kerja ayah sebagai pegawai toko menjadi 5 hari seminggu, kemudian 4 hari seminggu, dan terakhir 3 hari seminggu. Sampai pada akhirnya bengkel menarik banyak pelanggan tetap, dan ayah diminta untuk bekerja sebagai pegawai tetap di bengkel itu. Gaji ayah naik 3 kali lipat dari gaji sebagai pegawai toko plus bonus dan tip-tip dari pelanggan. Lebih bagusnya lagi ayah hanya bekerja 5 hari saja dari hari Senin sampai Jumat.
Ayah sengaja tidak memilih hari Sabtu dan Minggu demi menghabiskan waktu berdua denganku. Setiap hari Sabtu ayah suka menjemputku sepulang sekolah, maklum biasanya sekolahku hanya masuk 1/2 hari di hari Sabtu dan kami berdua suka jajan di luar
sebelum pulang ke rumah. Sejak bekerja di bengkel itu, aku menjadi dekat dengan ayah. Dengan kondisi ekonomi yang semakin membaik dari hari ke hari, kini ayah mampu untuk membeli rumah sendiri meskipun tidak besar. Malaikat keberuntungan sedang berada disamping ayah. Ayah orang yang baik, tekun dan jujur, maka dari itu ayah diberi banyak rejeki dari yang di atas. Bengkel itu menjadi
tumbuh pesat pula berkat kedatangan ayah.
Demi menjaga hubungan baik antara ayah dengan bos bengkel itu, ayah diberi komisi 15% dari setiap pembayaran service/reparasi mobil/
motor yang dia urus plus bonus tahunan dan belum lagi tip-tip dari pelanggan. Nama bengkel menjadi terkenal karena rekomendasi dari mulut ke mulut, sampai pada suatu hari ibu tiriku ini menjadi pelanggan tetap bengkel itu. Ibu tiriku mendengar nama bengkel dan nama ayahku dari teman dekatnya. Saat itu ibu tiriku memiliki 3 buah mobil. Seingatku waktu mitu ada BMW, Mercedes, dan mobil kijang. Ibu
tiriku sering mengunjungi bengkel ayah dengan alasan untuk check up antara mobil BMW-nya atau Mercedes-nya. Mobil kijangnya hanya
datang dengan supir.
Sebut saja nama ibu tiriku adalah Tina (nama singkatan). Saat itu aku memanggilnya tante Tina. Umur tante Tina 4 tahun lebih muda dari
ayah. Kerutinan tante Tina ke bengkel menjadi awal dari romansa antara dia dan ayah. Ayah sering kencan berdua dengan tante Tina, dan
terkadang mereka mengajakku pergi bersama- sama pula. Terus terang sejak bersama tante Tina, wajah ayah lebih tampak berseri-seri dan lebih segar. Mungkin saat itu dia menemukan cinta keduanya setelah bertahun-tahun berpisah dengan ibu kandungku. Melihat perubahaan positif ayah, aku pun menjadi ikut senang. Aku juga senang bila tante Tina datang berkunjung, karena dia sering membawa oleh-oleh berupa makanan atau minuman yang belum pernah aku liat sebelumnya. Belakangan aku baru tau bahwa bingkisan itu adalah pemberian dari kolega bisnisnya.
Salah satu rumah Tante Tina berada di daerah Jakarta Selatan, dan tentu banyak orang tau bahwa kawasan ini adalah kawasan elit.
Setelah bercerai, tante Tina membuka beberapa bisnis elit di sana seperti salon/spa kecantikan, dan butik. Para pelanggannya juga dari kalangan kaliber atas seperti pejabat dan artis. Dia menyewa beberapa prajurit terpecaya untuk menjalankan usaha-usaha bisnisnya.
Dalam singkat cerita, ayah dan tante Tina akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah menikah aku disuruh memanggilnya ‘mama’.
Perlu waktu beberapa minggu untuk memanggilnya ‘mama’, tapi lama-lama aku menjadi biasa untuk memanggilnya ‘mama’.
Untuk lebih singkatnya dalam cerita ini, aku akan menyebut ‘ibu tiriku’ sebagai ‘ibu’.
Sejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi,
rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak
process yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya. Ayah
pernah memohon kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli
saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan.
Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik. Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama. Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar- benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karenaaku masih harus sekolah.
Ibu sering mengundang teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Ani. Tante Ani saat itu hanya 15
tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang
berumur 20 tahunan. Tanti Ani adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik ibu. Wajah tante Ani tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main. Maklum anak
orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Ani sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu
berjam-jam. Tidak jarang tante Ani keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall.
Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Ani. Ibu bercerita bahwa tante Ani itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Ani sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini. Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja yang tinggal di rumah.
Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang ketinggalan. Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Ani menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.
“Bernas kok ngga ikut papa mama ke Bandung?”tanya tante Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kaloke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore.
Tante ada apartment di sana” tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh.
Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo
penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Bernas mau ngga
temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Ani mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira- kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Ani putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel
seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Ani suka bertanya
tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah.
Aku mengatakan kepada tante Ani bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo
naksir sih ada, cuma aku tidak sampai mengganggap terlalu serius. Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante Ani semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran
apa-apa saat itu.
Tiba-tiba tante Ani berkata, “Bernas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Ani. Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante dah laper nih.” katatante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Ani sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Ani tersingkap tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Ani, begitulah aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati. Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”
“Ogah ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Ani membawa sedan Honda, bukan
Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Ani sambil tertawa kemenangan.
Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta.
Tante Ani seperti bebek saja, ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Ani tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Ani mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Ani tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Ani sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Ani, yang tante Ani tidak pernah merasa kekurangan materi. Apartemen tante Ani lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada siapa- siapa yang tinggal di sana selain tante Ani. Jadi aku bisa maklum apabila tante Ani sering keluar rumah.
Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen.
“Anggap rumah sendiri Bernas. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.”
cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Ani menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang murahan.
“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Ani memecahkan suasana hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal.
Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.” Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-
lukisan yang ada, dan tante Ani tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Ani ternyata memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Bernas mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante Ani yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Ani sudah ingin tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng- gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Ani. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.
Tante Ani masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama
minuman. Tante Ani membawa kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian.
Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Ani menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Bernas pulang yah. Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Ani.
Aku merasa tante Ani berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Ani minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat tingkahku yang suka menurut, tante Ani mulai terlihat lebih berani lagi. Dia mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.
Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Ani ralat menjadi ‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Ani sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin berani menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Ani, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante Ani menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya. Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang
menjurus ke seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan.
Semuanya tanpa ragu-ragu tante Ani jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan. Kini permainan kami semakin wild dan berani. Tante Ani mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul tante Ani.
“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Ani dengan senyum kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.
Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Ani kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan.
“Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya. Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Ani bugil juga. Aku pengen sekali menang terus.
“Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.
Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Ani. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.
“Straight … Bernas … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Ani girang. Aku pun segera melepas jaket
aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati.
“Bernas Three kind … tante … one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum.
Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Bernas junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya.
“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Ani girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Ani sambil tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Ani kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan
keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Ani membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol
V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas- puasnya.” ucap tante Ani. Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.
“Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Ani hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku
sempat berpikir apakah tante Ani mencukur semua bulu-bulu pubisnya.
Muka tante Ani sedikit memerah. Kulihat tante Ani sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Ani.
“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.
Tante Ani kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Bernas tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Ani melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Ani, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Ani sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.
“Aih Bernas, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Ani. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih.
Dasar genit kamu.” tambah tante Ani lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu. Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat
bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Ani meminta aku melepas celana yang aku kenakan. Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Ani hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Ani untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi. Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya.
Babak penentuan apakah tante Ani akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan
berpihak kepadaku. Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Ani. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Ani.
Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Animencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini”
kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Ani terdiam sejenak kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih menantang daripadayang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani. Tante Ani kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Ani. Tante Ani diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Ani. Bau wine merah sempat tercium di hidungku. Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Ani.
Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Ani. Tante Ani dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Ani, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang puladi dalam mulut tante Ani.
Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante Ani seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Ani pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Ani. Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman.
Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya.
Tante Ani menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Bernas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Ani kemudian terputus. Kalimat tante Ani ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani
malam itu.
Aku semakin berani dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Ani sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku
sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Ani sambil menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante Ani.” jawabku tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Ani tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran.
Tante Ani hanya mengangguk pertanda setuju. Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Ani. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Ani dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Ani, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Ani. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya.
Kuluman yang tante Ani dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Ani.
Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Ani perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa memastikan bahwa tante Ani saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya
‘horny’.
“Bernasss … kamu nakal banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Ani dengan nada terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata tante Ani, tapi malah semakin bersemangat memainkan kedua puting susunya. Tante Ani tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak
senonoh terhadap dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh tante Ani perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet.
Ternyata tante Ani tidak menahan/menolak, bahkan tante Ani hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Ani. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Ani, dan oh my, wangi
betul leher tante Ani. Tante Ani memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya,
memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa
yang harus aku lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi
suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas bibir tante Ani, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Ani. Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante Ani, sedangkan tangan kananku meremas- remas payudara kiri tante Ani.
Tubuh tante Ani seperti cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa
diberi komando, tante Ani tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Ani memberikan instinct
bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Ani saat itu, namun tante Ani tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya.
“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/ memek tante Ani mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Ani dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya.
Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Ani berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Ani mulai basah dan licin.
“Bernasss … kamu yah … aaahhhh … kok berani ama tante?” tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Ani mulai serak-serak basah.
Aku tetap memainkan itil tante Ani, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Ani menjerit kencang
seakaan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Ani
bukan tipe wanita yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Ani tidak sakit buatku.
“Bernasss … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Ani. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu.
Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Ani lemas dan nafasnya terengah-engah. Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Ani, tapi sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Ani. Keragu- raguanku ini terbaca oleh tante Ani. Dengan lembutnya tante Ani berkata,
“Bernas, kalo pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol Bernas
dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”.
Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante Ani, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Ani. Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Ani yang memuluskan jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Bernasss … ahhh …” desah tante Ani.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Ani dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Ani terlihat semakin ‘horny’,
dan mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani. Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Ani, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi …
” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam.
Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi
jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Ani genit.
Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Ani semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku. Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Ani pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Ani 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku
semakin mendekat saja.
“Bernasss … ampunnn Bernasss … kontolnyakok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi… tante geliii banget nihhh …” kata tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.
Puting tante Ani semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah
tante Ani, dan bibir kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Ani.
Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Ani. Tante Ani sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja.
“Bernasss … tante datangggg … uhhh …ahhhhhh …” jerit tante Ani sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda tante Ani telah ‘orgasme’.
Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar.
Aku masih ingat pesan tante Ani agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Ani.
“Tante … Bernassss datangggg …” jeritku panik. Kutarik penisku dari dalam memek tante Ani, dan penisku memuncratkan spermanya di perut tante Ani. Saking kencangnya, semburan spermaku sampai di dada dan leher tante Ani.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Ani. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat
mengomentari candaan tante Ani.
Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Ani. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke langit- langit apartment tante Ani. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia.
Tante Ani kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh hidungku.
“Bernas puas ngga?” tanya tante Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Bernas?” tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Ani sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.
“Bernas sering-sering datang ke rumah tante aja.
Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak girang.
Malam itu aku nginap di rumah tante Ani. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi
dengan tante Ani, namum ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya. Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Ani tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu. Tante Ani senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula selain apartementnya sendiri.
Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai di sana). Tante Ani sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Ani seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani, belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah
menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.
Tante Ani paling suka ‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Ani lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan
berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Ani. Maklum aku masih
tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Ani menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Ani bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami.
Tante Ani sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah
hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Ani.
Saat ini aku masih berhubungan baik dengan tante Ani. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Ani sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Ani sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Ani, namun tante Ani seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian.
Jadi tante Ani tidak pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu meringkankan beban
perasaan temannya.